Negara Indonesia, melalui Kementerian Agama, telah mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama dan mendorong agar moderasi beragama ini menjadi arus utama dalam membangun Indonesia. Pemerintah memasukkan agenda moderasi beragama ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kata ‘moderasi’ sendiri difahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.
Dengan merujuk rumusan yang disampaikan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, ada tiga prinsip moderasi Islam yang digunakan dalam tulisan ini untuk menegaskan praktik moderasi Islam di Indonesia, yaitu pertama prinsip keadilan (al-‘ada>lah), kedua prinsip keseimbangan (al-tawa>zun), dan ketiga prinsip toleransi (al-tasa>muh}).
Praktik Prinsip Keadilan
Praktik sikap moderasi Islam berdasar prinsip keadilan ini terbukti dalam ranah politik yang terlihat dari karakter inklusif Islam yang menerima empat prinsip dasar dalam negara-bangsa Indonesia, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Penerimaan terhadap empat pilar ini menunjukkan sikap moderat umat Islam yang secara tepat memosisikan dirinya dalam hidup bernegara. Posisi umat Islam tidak antipati atau vis a vis terhadap negara. Sikap ini juga dalam merupakan turunan dari keyakinan umat untuk patuh kepada pemimpin, setelah patuh kepada Allah dan RasulNya [Q.S. al-Nisa (4) : 59]. Sikap ini juga yang menjadi sangat berbeda dengan gerakan transnasional eksklusif, misalnya, yang mengimpikan dawalah Islamiyah dan/atau khilafah, yang terbukti kerap menimbulkan ekses-ekses negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan global dengan munculnya gerakan-gerakan ekstrimitas di banyak negara di dunia.
Praktik prinsip keadilan dalam moderasi Islam di Indonesia ini juga terlihat dengan pendirian Departemen Agama pada 3 Januari 1946 yang jelas merupakan produk politik ini, atau tepatnya hasil kompromi politik antara umat Islam dengan kaum sekularis. Sebagaimana diketahui penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung tekanan khusus menyangkut kualitas monotheistik prinsip ke-esaan Tuhan yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu tawhid. Rumsan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila ini kemudian diadopsi sebagai mukaddimah Konstitusi Republik yang kemudia disebut Undang-Undang Dasar 1945. Sedikit banyakanya UUD 1945 ini memberikan tempat yang utama bagu status Islam di negara ini. Harus diakui tidak sedikit kritik di luar umat Islam menyangkut adanya kesan hak eksklusifitas bagi umat Islam. Untuk menepis hal tersebut, pada September 1945 pemerintah Indonesia yang masih sangat muda saat itu memutuskan perlunya didirkan Departemen Agama.
Pembentukan departemen (sekarang Kementerian) yang meski ada kritik karena dianggap identik dengan departemen satu/sebuah agama (Islam) ini, mempunyai tugas utama menjamin kebebasan beragama dalam pengertian kebebasan dari setiap penganut agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu) untuk hidup sesuai dengan semangat keimanan mereka masing-masing.
Praktik Prinsip Keseimbangan
Salah satu distingsi utama kaum Muslimin Indonesia adalah kepenganutan pada paradigma Islam wasathiyah yang inklusif. Dengan paradigma dan praksis wasathiyah, umat Islam Indonesia dapat tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan dan sosial politik yang bernyala-nayala. Jati diri Islam Indonesia wasthiyah memiliki ortodoksinya sendiri, terdiri dari tiga aspek; kalam (teologi) Asy’ariyah-Jabariyah, fiqh mazhab Syafii dan tasawuf al-Ghazali. Ortodoksi Islam Indonesia wasathiyah berbeda misalnya dengan ortodoksi Islam Arab Saudi yang terdiri dari hanya dua aspek ; kalam salafi-Wahabi dan fiqh mazhab Hanbali.
Dalam ranah praksisnya, sebagai konsekwensi dari pendirian Kementerian Agama seperti tersebut di atas, misalnya, Pemerintah melakukan perlakuan yang seimbang terhadap semua agama di Indonesia. Perwujudan identitas keagamaan dalam bentuk perayaan-perayaan besar hari keagamaan, misalnya dilegalisasi pemerintah sebagai hari libur, seperti antara lain Maulid Nabi Muhammad saw, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, Nuzulul Qur’an, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, Tahun Baru Masehi, Kenaikan Isa al-Masih, Wafat Isa al-Masih, Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Waisak, dan Tahun Baru Imlek. Demikian juga kehadiran rumah-rumah ibadah semua agama yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti masjid, gereja, candi, pura, dan kelenteng. Semua kegiatan keagamaan itu dipantau, diatur, dan diayomi oleh pemerintah
Sejalan dengan hal tersebut, berkembang juga Budaya Pancasila dalam bentuk busana jilbab bagi muslimah yang berbasis transendental dari usia dini hingga lanjut usia. Busana jilbab dengan berbagai model yang khas Indonesia itu mulai berkembang tahun 1970, yang merupakan implementasi dari keyakinan agama di samping , tidak dapat dipungkiri bahwa juga terpengaruh oleh budaya Arab .
Budaya Pancasila sebagai Peradaban Indonesia yang bersifat transendental atau religius, juga melembaga dalam bentuk organisasi sosial keagamaan, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisdha Hindu, Walubi, Subud, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dan lain-lain. Partai politik yang berbasis agama juga tumbuh dan berkembang sejak masa pergerakan hingga masa reformasi. Partai-partai yang berbasis agama itu, mendirikan juga organisasi sayap seperti organisasi pemuda, organiasi mahasiswa, organisasi seni dan budaya, organisasi perempuan, organisasi buruh, organisasi tani dan nelayan, organisasi seni budaya, serta menerbitkan surat kabar (surat kabar partai).
Dalam kehidupan ekonomi tumbuh juga Budaya Pancasila dalam bentuk budaya religius atau transendental, seperti koperasi syariah, toko swalayan syariah, bank syariah, baitul mal wa al-tamwil, dan biro perjalanan haji dan umrah. Demikian juga terbentuk organisasi pengusaha yang berbasis agama, yang cikal bakalnya telah tumbuh pada masa pergerakan sebelum Indonesia merdeka seperti Serikat Dagang Islam. Bahkan lahir dan berkembang juga gerakan makanan halal, yang harus memperoleh sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia.
Praktik Prinsip Toleransi
Toleransi merupakan sikap untuk memeberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan. Toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif.
Dalam konteks tatanan sosio-politik Indonesia, selama hampir dua dekade, ekstremisme keagamaan menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya di Indonesia melainkan sudah menjadi fenomena global. Aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi di sejumlah negara telah menimbulkan ketegangan bagi semua kalangan yang pada kadar tertentu melahirkan gejala saling mencurigai kelompok agama tertentu sebagai sumber kekerasan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dengan ketaatan beribadah dan toleransi yang tinggi. Tradisi toleransi mengakar kuat dalam sikap dan perilaku saling menghormati dan bekerjasama di antara pemeluk agama yang berbeda. Namun akhir-akhir ini terdapat gejala melemahnya budaya toleransi di Indonesia yang ditandai oleh menguatnya ekstrimisme di hampir semua kelompok seperti tindakan penyerangan tepat ibadah dan kekerasan atas nama agama yang seringkali tetjadi di sejumlah tempat. Selain arean faktor penegakan hukum yang lemah dan kondisi sosial yang rawan, tumbuhnya ekstrimisme keagamaan juga disebabkan oleh memudarnya budaya toleransi.
Satu contoh menarik dari budaya toleransi ini adalah kebersamaan yang ditunjukkan warga Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta Pusat pada 26 Agustus 2019 yang bisa menjadi contoh bahkan bagi dunia tentang tingginya budaya toleransi beragama di Indonesia; Saat itu upacara kebaktian tutup peti untuk seorang warga beragama Kristen yang meninggal terpaksa dilakukan di pelataran Masjid Darussalam, dipimpin pendeta, serta dihadiri keluarga dan warga Kristiani di sekitar masjid. Aktifitas itu dilakukan setelah pihak keluarga meminta izin Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) untuk dapat menggunakan halaman masjid untuk kegiatan kebaktian tutup peti. Alasannya, gang menuju rumah duka terlalu sempit sehingga menyulitkan peti jenazah masuk keluar menuju rumah duka. Pengurus DKMM Darussalam mempersilahkan halaman masjid digunakan untuk kegiatan peribadatan tersebut dengan niat berbuat baik saling membantu sesama, tak terkecuali pemeluk agama lain.
Penutup
Praktik moderasi Islam di Indonesia berdasar tigaprinsip di atas dapat merupakan kontribusi bagi peradaban dunia, khususnya dalam menciptakan tatanan dunia yang damai berdasar nilai-nilai agama. Pada sisi lainnya yang lebih aktual, tiga prinsip tersebut dapar pula menginspirasi perhelatan dunia G-20 yang akan digelar Nopermber 2022 di mana Indonesia bertindak sebagai presidensinya. Dengan mengusung tema Recover Together Recover Stronger, semangat dunia untuk bangkit dan menjadi kuat bersama seketika khususnya menghadapi dua tahun Pandemi Covid-19, perlu diperkuat dengan tiga nilai moderasi di atas dalam rangka menciptakan tatanan kehidupan global yang berkeadilan dalam arti tidak membeda-bedakan antara negara maju, berkembang, maupun terbelakang; berkeseimbangan dalam arti melekat secara seimbang hak dan kewajiban masing-masing negara; dan penuh dengan semangat toleransi dalam arti saling menguatkan meski berbeda.